Indonesia, tanah air kami yang kami cintai...
Saya jadi teringat perbincangan dengan beberapa kawan disebuah jembatan, di sebuah pulau, Indonesia. Perbincangan agak berat sebenarnya untuk malam hari apalagi setelah kami semua lelah mengarungi lautan disertai kegiatan menyelam dari fajar hingga matahari tenggelam. Kami membicarakan masa depan negeri ini, ya negeri ini, Indonesia.
Pada awalnya, kami membicarakan mengenai betapa kaya nya negeri ini. Salah seorang kawan saya mengutarakan keanekaragaman hayati laut yang dimiliki oleh negeri ini. Ternyata, keanekaragaman hayati laut kita nomor satu di dunia, tidak ada yang dapat menyaingi keanekaragaman hayati laut negeri ini. Lalu bagaimana? Lagi-lagi dicuri oleh negara-negara lain.... Dikembangkan oleh negara-negara lain.... Diakui oleh negara-negara lain... Jadi kami pun tidak heran jika ada negara lain yang mengaku-ngaku karena kenyataannya mereka memiliki data yang lebih lengkap dan akurat... Darimana datangnya data-data tersebut? Hmm... silahkan berpikir sendiri...
Perbincangan pun memanas, saat salah satu dari kami bertanya, "Darimana kita harus membenahi negeri ini?"
Saya pun memandang langit sejenak, terlintas wajah anak-anak bangsa yang baru saja menjalani Ujian Nasional saat itu. 4 tahun mengawas Ujian Nasional, dengan berbagai masalah yang timbul disetiap tahunnya pun mengingatkan saya akan lemah nya sistem pendidikan negeri ini. Saya pun menjawab,"tidak mungkin kita mengubah orang-orang tua yang sedang menjabat. Karakter itu tidak terbentuk dalam waktu pendek, karakter terbentuk dalam jangka waktu panjang. Kalau mau merubah, pasti lama dan sulit. Satu-satu nya jalan kita bentuk anak-anak yang kita miliki agar terbentuk karakter dan mental yang baik."
Saya pun teringat dengan sebuah video dokumenter dari negeri tirai bambu. Video dokumenter yang memperlihatkan bagaimana mereka mendidik anak-anak mereka sejak kecil. Sungguh membuat saya terpana. Anak-anak itu berumur sekitar 6 tahun. Setiap anak diberikan 1 penghapus baru sebelum memasuki ajaran baru di kelas. Ada peraturan yang harus dipatuhi dan disetujui oleh setiap anak, penghapus yang mereka miliki tidak boleh dirusak (ditusuk-tusuk dengan pensil, digigit,dsb), harus selalu dibawa setiap hari, dan tidak boleh dicoret-coret. Pokoknya penghapus tersebut hanya untuk menghapus, tidak untuk dirusak.
Setiap pagi dipilih salah satu orang murid untuk memimpin kelas agar tertib dan memeriksa setiap penghapus yang dimiliki oleh setiap anak. Setelah beberapa menit memeriksa, anak yang menjadi pemimpin kelas itu menemukan satu penghapus rusak karena ditusuk-tusuk oleh pensil milik kawannya. Anak yang telah ditunjuk menjadi ketua itu pun melapor ke guru yang sedang mengawasi seluruh isi kelas. Kemudian di panggil anak pemilik penghapus yang rusak tersebut ke depan kelas. Guru pun memberikan sangsi, anak tersebut harus meminta maaf kepada seluruh isi kelas karena telah melanggar janji nya dan berjanji untuk tidak mengulangi nya lagi. Anak tersebut terisak, menangis karena kesalahannya. Anak itu pun meminta maaf kepada seluruh isi kelas dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sang guru pun mendekati anak tersebut dan memeluk anak tersebut.
Jam pelajaran usai, lalu berganti dengan pelajaran selanjutnya bertani. Anak-anak sekecil itu diajari cara bercocok tanam, merawat makhluk hidup lain. Lalu anak yang tadi dihukum pun diwawancarai "Kamu sudah tidak sedih?" Anak itu menjawab,"Tidak, aku sudah tidak apa-apa. Ibu guru dan kawan-kawan sudah memaafkanku. Aku tidak akan merusak penghapusku lagi." tersenyum sambil menyiram tanaman.
Cerita itu pun saya ceritakan ke teman-teman diskusi saya malam itu. Anak-anak sekecil itu sudah ditanamkan rasa menghargai terhadap apa yang mereka miliki, mencintai makhluk lain, bertanggung jawab atas setiap komitmen yang telah disepakati, dan meminta maaf atas kesalahan yang diperbuat. Jadi mungkin kita jangan heran, kalau ada petuah berkata "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina."
Kami pun sepakat, satu-satunya cara untuk memperbaiki negeri ini ya dari anak-anak kami sendiri. Siapa lagi?
Kemudian beberapa waktu lalu saya berpikir, mungkin ada yang salah dalam metode kita mendidik di masa lampau hingga akhirnya kita semua harus membayar semua kesalahan kita sekarang ini. Hmm.. Jaman dulu kita selalu mendengar kisah kancil mencuri timun pak tani. Mencuri. Menipu. Mengelabui. Aaaah! Pantas saja sekarang banyak koruptor! Persis seperti kancil-kancil yang sering kita dengar jaman dahulu bukan? Lalu cerita-cerita magic, yang akhirnya mendidik kita percaya dengan tahayul, pak mali, bu mali, dan sebagainya. Dan akhirnya negeri ini pun dikenal dengan negeri 1001 hantu.
Kenapa kita tidak menceritakan kisah Rasul yang sudah jelas dapat dijadikan suri tauladan? kisah Muhammad Al-Fatih yang diusia sangat muda dapat menaklukan Constantinopel? kisah Umar bin Khattab pemimpin khalifah yang bijak? kisah-kisah real lainnya yang dapat diambil manfaatnya. Bukan sekedar cerita kosong atau dongeng....
Sudahkah kita mendekat dengan hati anak-anak bangsa ini?
Negeri ini hanya akan baik, jika kita mau berusaha memperbaiki dari kita sendiri dan keluarga kita. Bayangkan misi besar setiap keluarga Indonesia adalah mencetak peradaban terbaik. Negeri ini sudah kaya, tinggal menunggu generasi-generasi penerus yang perduli, beradab, berakhlak, berakal yang mau mengolah kekayaan tersebut serta menyebarkannya keseluruh penjuru negeri. Sudah siapkah kita? :)
We felt our money gave us infinite power, but we forgot to teach our children about history and honour. We became individual without a soul despite the heat, our homes felt so empty and cold. Its easy to blame everything on the West when in fact all focus should be on ourselves.
-Awaken by Maher Zain-
No comments:
Post a Comment